Hutanku...Rusak ! Langitku... Bocor ! Udara yang aku hisap... Tercemar ! Makanan yang aku makan... Racun ! Hijau Hijauku Hijau Hijau Hijau Dunia ! ... Hijau ...

IndonesiaGreenpeace

Blog indonesiagreenpeace diciptakan untuk mendukung semua usaha-usaha yang pernah dilakukan baik perorangan ataupun organisasi di Indonesia yang peduli terhadap kelestarian wilayah nusantara. Blog ini berisi tentang pahlawan-pahlawan Lingkungan hidup yang menurut Kami sangat berjasa bagi keutuhan Pembangunan Indonesia Bersih, Berisi tentang Rangkuman Blog lainnya yang khusus diciptakan untuk keselamatan lingkungan

Blog Bagus Peduli Lingkungan

Kompas Green Section

Jumat, 01 Februari 2008

Samuel Ransmor

Berusaha Menghapus Bom Ikan di Biak


Samuel Ransmor tidak pernah pensiun sebagai "polisi". Sejak bergabung dalam kepolisian pada tahun 1960, ketika Papua masih di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda, kemudian tahun 1990 pensiun dengan pangkat terakhir Sersan Mayor, dan hingga sekarang sebagai kepala desa, dia tetap serius untuk menegakkan hukum dan mengurangi kejahatan.

Sebagai orang Papua dari Desa Saba Warwe, Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Samuel (62 tahun) tak pernah berhenti berusaha untuk mengajak warga setempat meninggalkan bahan peledak untuk menangkap ikan di perairan Biak, dan pulau-pulau di Padaido.

Ketika masih berseragam polisi, puluhan orang yang dia tangkap karena menggunakan bahan peledak untuk menangkap ikan. Mereka yang tertangkap diproses secara hukum, atau dibina untuk meninggalkan kebiasaan destructive fishing yang menghancurkan potensi alam setempat.

Masalahnya, kata dia, dalam satu percakapan di kantor Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHSATI), di Jakarta, Senin (7/6) lalu, di Biak terdapat begitu banyak bahan peledak peninggalan Amerika pada Perang Dunia Kedua. Ranjau-ranjau bertebaran di dasar laut, dan digunakan para nelayan untuk membuat bom ikan.

"Padahal satu bom akan merusak sekitar 30 meter persegi terumbu karang. Akibatnya, terumbu karang di sana rusak parah," kata dia didampingi istrinya, Esterlina Iroria. Samuel menceritakan bahwa perairan Biak dan Padaido merupakan tempat pemijahan ikan. Penggunaan bom dan juga potasium telah membuat rusak alam di sana.

Itu sebabnya, setelah pensiun dari polisi dengan jabatan terakhir Kapolsek Biak Timur, Samuel tak undur untuk menghapus bom dalam kegiatan menangkap ikan. Sebagai kepala desa, dia merintis upaya pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan di perairan itu. Dan dia mendapat bantuan dari berbagai lembaga termasuk KEHATI.

Yang dia lakukan pertama adalah pemetaan wilayah dan potensinya. Dia sempat belajar membuat peta di Nusa Laut, Saparua, Maluku Tengah. Untuk wilayah seluas 532 hektare di Desa Saba Warwe, sekarang dihasilkan delapan peta, antara lain peta permukiman, peta jenis tanah, peta marga, peta laut, peta pemanfaatan, dan peta batas luar, dan peta kekayaan hayati.

Peta itu menjadi informasi dasar untuk pengelolaan kekayaan alam yang berbasis komunitas setempat. Dari peta itu, Samuel bersama tokoh masyarakat dari adat dan agama (gereja) membuat peraturan untuk pelestarian dan pemanfaatan yang ramah lingkungan. Salah satu hasilnya adalah ditetapkannya peraturan desa dan aturan sasisen, lengkap dengan sanksi atas pelanggaran. Perangkat lembaga adat bertindak menjadi polisi yang menjaga ditaatinya aturan tersebut.

Dalam aturan itu, kata Samuel, antara lain ditetapkan sonasi atau wilayah konservasi, wilayah tangkap bersama, dan wilayah pemanfaatan terbatas. Alat-alat tangkap yang merusak dilarang, misalnya jaring mata satu (terlalu kecil), potasium, dan bahan peledak. Pelanggar akan dikenai denda berupa uang sampai Rp 10.juta dan piring antik. Untuk wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan sasisen, tidak boleh dimasuki selama satu tahun. Siapapun yang masuk akan kena denda Rp 2.500. Jika di kawasan itu, melakukan pelanggaran lain, maka denda akan ditambah sesuai aturan sanksi.

Sekarang ini di Desa Saba Warwe juga ada sekitar 20 pemuda yang telah memiliki keterampilan melakukan pemetaan. Dan mereka sedang membantu usaha serupa di desa lain. Samuel sendiri telah dipercaya untuk menjadi fasilitator untuk berbagai daerah.

Kalpataru
Dari usaha keras ini, Samuel bisa berlega hati, di perairan Saba Warwe dan Padaido, populasi ikan meningkat, bahkan jenis ikan yang sebelumnya nyaris punah mulai terlihat dan semakin banyak. Dengan begitu, dia berharap penduduk Desa Saba Warwe yang berjumlah sekitar 600 jiwa, bisa mendapat tangkapan ikan yang cukup untuk menghidupi mereka dan generasi berikutnya.

Pekerjaan Samuel pun memperoleh apresiasi dari banyak pihak. Hari Senin (7/6) lalu, dia dinyatakan sebagai penerima penghargaan Kalpataru untuk kategori Perintis Lingkungan. Penghargaan itu dia terima dari Presiden di Istana Negara. Dia mengungkapkan bahwa penghargaan ini diharapkan menjadi pendorong untuk mengembangkan pengelolaan alam yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

Apresiasi ini juga datang dari tingkat internasional, pertengahan Juni ini, Desa Saba Warwe akan menjadi tuan rumah lokakarya konservasi laut yang dihadiri wakil dari Asia Pasifik, seperti Guam, Fiji, Vanuatu, Papua Nugini, Filipina, dan Amerika Serikat.

Yang dia harapkan sekarang adalah bahwa peraturan pengelolaan sumber daya alam yang telah dibuat masyarakat bisa ditetapkan menjadi peraturan daerah (Perda). "Dan datangkanlah para ahli ke Biak, biar kami belajar untuk pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam secara baik," kata dia berharap.

Pembaruan/Sabar Subekti
--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 9/6/04

Diambil dari : http://www.suarapembaruan.com/News/2004/06/09/Lingkung/ling01.htm

Tidak ada komentar: